8 Kesalahan Menulis Fiksi

Clara N.G sebagai penulis fiksi populer mengatakan banyak kesalahan yang dilakukan para penulis fiksi pemula (amatir). Kesalahan ini biasanya berupa fomula penulisan yang kurang konsisten, hal itu sering membuat cerita menjadi kurang berkesan.
“Ibarat kue yang tidak mengembang, kesalahan pada naskah fiksi membuat cerita menjadi fiksi yang rusak,” ujar pemilik akun Twitter @clara_ng ini.
Beberapa kesalahan tersebut adalah:
Penuturan konflik
Konflik merupakan perlawanan atas segala seuatu yang diperjuangkan oleh karakter baik secara fisik ataupun secara batin. Konflik adalah arus balik kesalahan. Sandaran fiksi adalah konflik, bukan pada konsep cerita. Sebagus apapun konsep cerita yang Anda buat, akan hancur tanpa kehadiran konflik.
Konflik adalah nyawa bagi cerita fiksi. Seperti tangga, konflik harus digambarkan bertahap, dari kecil hingga membesar. Konflik juga seperti bayi, harus bertumbuh. Konflik yang stagnan hanya akan membuat fiksi menjadi mati.
Konflik adalah nyawa bagi cerita fiksi. Seperti tangga, konflik harus digambarkan bertahap, dari kecil hingga membesar. Konflik juga seperti bayi, harus bertumbuh. Konflik yang stagnan hanya akan membuat fiksi menjadi mati.
Pembukaan yang lemah
Pembukaan yang seperti ini adalah pembukaan yang tidak memperlihatkan konflik. Konflik seharusnya sudah muncul di pembukaan cerita atau prolog. Pembukaan yang salah adalah pembukaan yang mengabaikan atau menahan konflik.
Penyelesaian konflik yang lemah
Konflik yang sudah menghantui naskah sejak awal, harus ditutup dengan penyelesaian yang kuat. Penyelesaian yang lemah artinya konflik yang dibangun hanya sedikit hingga terkadang tidak terlihat seperti sebuah konflik. Lemahnya penyelesaian bisa disebabkan antara lain karena si karakter keluar dari masalah dengan mudah entah karena bantuan atau hal semacamnya.
Karakter yang tidak berjuang
Ada tokoh atau situasi lain yang serta merta menyelamatkan tokoh dari konflik.
“Tokoh harus berjuang menyelesaikan masalahnya. Boleh mendapat bantuan tidak langsung, tapi penyelesaian harus tetap dilakukan tokoh utama. Hindari aksi serobot,” kata Clara.
Dialog yang bertele-tele
Dialog yang ‘garing’ tanpa tujuan yang jelas hanya akan membuat fiksi diam di tempat. Pada naskah humor pun, dialog harus mengacu pada rumus yang berlaku. Ada tengah, ada konflik, ada kick-ass-nya. Tanpa itu, humor akan mati dalam dialog.
Kalimat-kalimat yang tidak patuh pada aturan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia itu susah. Kita semua harus belajar bahasa Indonesia dimulai dengan yang sederhana, yaitu Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (SPOK).
Tanda baca yang tidak pada tempatnya
Ini akibat penerapan bahasan Indonesia yang tidak maksimal. Kesewenang-wenangan tanda baca seperti seorang yang sedang menyetir mobil dengan ugal-ugalan. Tanda baca sama dengan rambu lalu lintas. Tidak taat rambu, hanya akan menghasilkan banyak kecelakaan.
Setting yang terlupakan
Setting yang terlupakan, berarti isi cerita hanya didominasi dengan dialog. Terkadang kita sulit memperhatikan hal-hal kecil yang sebenarnya ia adalah penopang hal besar. Jadi, jangan abaikan hal kecil di dalam sebuah tulisan.
***
Clara juga menyarakan para penulis baru untuk menghindari membuat buku yang masuk kategori junk-book. Clara juga menambahkan, “Jangan sampai industri penerbitan di Indonesia dipenuhi buku tanpa kualitas. Buku adalah gerbang utama masa depan,” ujarnya.
Sebenarnya, tidak ada tulisan yang jelek dan juga tidak ada orang yang tidak bisa menulis. Jika ada buku yang disebut gagal, maka buku itu tidak membuka wawasan pembacanya, hanya mengejar kuantitas tanpa menaruh perhatian pada kualitas.
[dari berbagai sumber]
0 komentar:
Post a Comment